Kamis, 15 Mei 2008

Just Bothok Please


Bothok, cuma bothok, rasanya tak ada yang istimewa dari sebuah nama ini. Buat yang tinggal di kampung adalah umum sekali ketika kita mendengar orang menyebut bothok dan merujuk pada sebentuk penganan - lauk nasi - yang dibungkus daun pisang, berbau khas dan...nyam-nyam. Bahan utamanya sebenarnya cuma parutan kelapa muda, daun mlinjo (so), lemtoro (petai cina) dengan bumbu brambang-bawang-ebi (bila suka)-tempe busuk- sedikit kencur-cabe merah-gula jawa-garam di ulet menjadi satu lalu dibungkus dengan daun pisang dan dikukus.
Namun bukan bothok kalau tidak bisa dimodifikasi dengan aneka bahan lain, bisa dengan pare yang pahit itu, udang (jangan yang lobster), daging,atau telur puyuh, lebih nyus kalau ditambahkan pete wutuhan dan jangan lupa cabe rawit glundhungan.Ditanggung mak ceplus, wer...kower..kower, huhh...hahh...., lalu ngoplok because nyeplus lombok.
Bothok paling enak disantap dengan nasi panas-panas, ditemani sayur asem dan tempe goreng atau ikan asin jambal lebar yang crunchy. Kalau di rumah, pelengkapnya tak lain sambel bawang digejrot tahu goreng panas-panas. Sambelnya yang pedhes buanget ya, jadilah puedhes nya bothok + puedhesnya sambel tahu, wuaaaa..., jangan lupa siapkan entrostop segera.
So, buat para sodaraku yang di jakarta, kalau para ibu kalian belum sempat memperkenalkan ragam kuliner kampung ini, jangan lupa request dulu ya kalau kalian berkunjung ke Solo. Dengan senang hati aku akan siapkan....

Jumat, 09 Mei 2008

Cabuk Rambak Tanpa Rambak



Penganan ini adalah penganan 'bingung klasifikasi', mau dibilang snack ringan kok bahan dasarnya beras yang notabene adalah makanan pokok bangsa Indonesiah. Mau dibilang makanan pokok, kok daya kenyangnya cuma sekelas snack saja. Tapi baiklah, mari kita golongkan sang Cabuk rambak ini dalam level kudapan saja. Oke ?
Buat penggemar kuliner Indonesiah, jenis makanan yang satu ini patutlah diincip-incip, secara yang aku tahu ini adalah satu bentuk makanan khas-tradisi-Solo Asli, sejajar dengan Thenkleng (klewer) dan Sego Liwet. Materinya terdiri dari Ketupat beras yang diiris-iris setipis silet...( ngomong 'setipis silet' sambil bayangin Feny Rose di infotainment silet ya...), lalu ketupat tipis itu di'templok' dengan sambal yang terdiri dari wijen-kelapa parut sangrai yang diulet dengan bumbu cabe-kemiri-bawang putih-gula pasir-garam yang dihaluskan, dengan taburan daun jeruk purut, daun ini menimbulkan aroma yang seger pada sambal berwarna putih pucat ini.Dan jangan lupa, sertakan karak ndeso sebagai peneman yang kriyuss...kriyuss...Ini nih yang perlu diperjelas, wong judulnya cabuk rambak kok makannya nggak pakai rambak. Mestinya kan namanya Cabuk Karak saja....But, apalah arti sebuah nama (penganan ini)....
Nah lebih enak lagi kalau makannya dalam kemasan pincuk dan gunakan tusuk lidi sebagai pengganti sendok, eksotis kan cara makannya? Wuiiih...., buat yang suka rasa uniknya pastilah nambah dan nambah lagi, karena oleh si penjual memang sengaja dibuat dengan porsi yang minimalis, biasalah strategi pedagang, biar nambah lagi. Tapi untuk yang bukan penikmat kuliner, mungkin rasa penganan satu ini tidak terlalu mengundang selera, karena memang rasanya cuma gurih asin saja, tanpa manis-tanpa pedhas. Datar saja....
Dan, tahu nggak ? Cabuk Rambak sekarang sudah jadi kuliner langka. Kita tidak mudah menemukannya lagi, padahal dulu waktu aku masih SD (tahun 70 an) makanan ini adalah termasuk jajanan favorit kami. Mungkin, 10 tahun kedepan, kita harus mau bersusah payah bikin cabuk rambak sendiri buat memperkenalkan ragam kuliner khas solo yang langka ini buat anak cucu kita. Hah, cape' deh !

Rabu, 07 Mei 2008

Solo, dulu dan sekarang, apa bedanya ?


Solo, dulu dan sekarang, apa bedanya ? ya ada dong, dulu kita tak mudah menemukan mall, kini tak bedanya kota besar, mall mulai menjamur di beberapa tempat. Yang jelas berbeda adalah tampilan beberapa tempat yang jadi ikon kota budaya ini. Jaman walikota Hartomo dulu di Gladag ditempatken suatu tugu Adipura lambang kebersihan, tugu ini adalah proyek kebanggaan sang walikota. Namun kini, tugu itu tak ada lagi, digantiken dengan sesosok patung Brigjen Slamet Riyadi yang gagah mengokang senjata siap memimpin pasukannya maju perang , tapi menurut Aizs, itu pose sang jenderal yang akan memberangkatkan balapan sepeda...tiga...dua...satu...dor !walahhh....Opo maneh ?
Sedangken nasib si Adipura, kini dia merana ditempat yang baru nun jauh dibawah jembatan Jurug di pinggir Bengawan Solo.Dengan tampilan yang memelas, dicat seadanya dan dipenuhi semprotan grafity yang nggak jelas. Padahal aku inget betul, aku menghadiri acara peresmian tugu kontroversial itu ditahun 1992 dalam suatu acara yang spektakuler, dengan Pak Hartomo dipanggul para penari dan diikuti pawai Ogoh-ogoh besar-besaran.
Solo dulu dan sekarang, apa bedanya ? banyak bedanya, ketika orang-orang baru tak lagi menghargai karya orang-orang lama. Namun bisalah dimengerti, karena terkadang proyek lama tak lagi relevan dengan kemajuan jaman. Hanya saja, mustinya adalah yang harus diambil dari Solo yang lama, kebersihan misalnya, sekarang jauh lebih semrawut ketimbang dulu. Secara, kapasitas penduduk & alat transportasi juga sudah beda.
Baiklah, buat apa memperdebatkan itu semua,yang penting dipikirkan adalah jangan tambah lagi ikon sebagai kota modern kalau harus menggusur bangunan lama di kota Solo. Cukup sudah, beteng Vastenburg jadi korbannya, yang sekarang peruntukannya cuma buat parkir semata, nggak penting banget kan ? .....nyesek didada....

Kawasan Teduh (terakhir)



Ada sepotong jalan di area Gladag, memanjang tak lebih 50 meter dari arah Jl. Sudirman (bundaran Gladag) menuju ke Alun-Alun Utara.Disana bisa kita temukan suasana adem dan lerem, tak beda dengan yang selalu aku rasakan di medio 1970-1979 ketika aku masih suka dolanan di bawah pohon-pohon beringin tua itu. Aku tidak yakin, apakah itu adalah beringin yang sama yang ada waktu itu, tapi menurutku sih iya....
Keluarga kami masih tinggal di kawasan Kedung Lumbu ketika itu, lokasi yang sekarang menjadi pusat perbelanjaan PGS & BTC dulunya adalah asrama kuno jaman Belanda yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga para sorodadu (tentara). Aku dan teman-teman kecilku suka pit-pitan di area gladag ini, anak laki-laki bergelayutan di akar-akar beringin nan kokoh itu, anak-anak perempuan main engklek dsb. Kenapa harus sejauh itu kami bermain, tentu saja mencari suasana yang beda dengan cuma sekedar main di halaman rumah Haji Sanusi yang kami sebut dengan Latar Jembar. Kadang di hari-hari tertentu, kami bahkan berebutan sesaji yang terdiri dari telur mentah , jajan pasar,dsb yang disajikan para abdi dalem di bawah pokok-pokok pohon tua itu, atau dikaki Arca Gupala. Duuhhh....indahnya masa kecil.
Kini, aku senang masih bisa memikmati kesejukan sepotong kawasan yang pernah menjadi bagian dari hidupku, dulu..... Pak Wali, plis, jangan singkirkan sisa kesejukan ditengah hawa Solo yang makin panyyaaasss ini.

Senin, 05 Mei 2008

Mbak Yanthi


Mbak Yanthi yang sejak dulu aku kenal , adalah sosok periang, yang selalu menghidupkan segala suasana. Senyum dan tawanya selalu mewarnai setiap pertemuan. Mbak Yanthi, yang aku kenal, adalah sosok yang dicintai semua orang. Mbak Yanthi menjadi sosok contoh ketika Bapak menasehati aku, katanya.." Kayak Mbak Yanthi tuh....prestasinya bagus, pinter nyanyi, ramah, jago bahasa Inggris..."
Waa....., Mbak Yanthi adalah keponakan tersayang swargi Bapak.
Dan kini, Mbak Yanthi, apapun kondisinya, yang tetap aku yakini, adalah Mbak Yanthi ku yang dulu. Penyayang, sabar dan tawakal dalam cobaan Nya. Bahkan aku menghadirkan sosok Indy Barens yang rame dan lucu bila aku kangen pada Mbak Yanthi...hii...hi...
Mbak Yanthi, foto diatas adalah liburan kita di pantai Ancol, ketika itu umurku baru 7 tahun ( 1973).

I LUV U, Mbak